Kementrian Agraria Diminta Menindak Tegas Kepala BPN Kotim
SAMPIT – Menanggapi adanya surat yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pertanahan (BPN), Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), perihal permasalahan yang terjadi antara desa Pahirangan dan PT. Karya Makmur Abadi (KMA), berkaitan dengan lahan plasma. Ketua Fraksi PKB DPRD setempat M Abadi mengatakan, besar dugaan bahwa surat itu telah terjadi mupakat mafia tanah, dengan pihak perkebunan PT. KMA.
Dimana ujarnya, kesepakatan itu diduga merugikan masyarakat. Karena dalam surat yang dikeluarkan pada tanggal 26 Januari tahun 2021 itu, menjelaskan bahwa PT. KMA tidak berkewajiban membangun plasma seluas 20 persen.
“Dan dikatakan karena aturan tersebut baru dikeluarkan pada tahun 2017, sementara SK HGU (Hak Guna Usaha) PT. KMA dikeluarkan tahun 2016. Ini sama saja BPN Kotim mengeluarkan surat dengan memainkan aturan, agar melepaskan PT. KMA dari kewajiban membangun lahan plasma,” bebernya, Selasa (2/2/21).
Karena menurut Abadi, sangat jelas di dalam surat yang dikeluarkan kepala BPN Republik Indonesia (RI), pada tanggal 26 Desember tahun 2012 yang di tujukan kepada seluruh wilayah kantor badan pertanahan nasional di Indonesia.
Tentang persyaratan membangun kebun untuk masyarakat disekitar kebun, dijelaskan pada point 5 hurup A, bahwa setiap perusahan perkebunan yang mengajukan HGU wajib membangun plasma 20 persen.
“Surat ini dikeluarkan tahun 2012, sementara HGU PT. KMA tahun 2016. Sehingga kewajiban tersebut telah tertuang di dalam sertifikat PT. KMA, atas lahan plasma seluas 1080 hektare,” tegasnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, untuk permasalah lahan TORA, bahwa PT. KMA mengajukan pelepasan pada tahun 2015, sementara di tahun 2015 telah dikeluarkan Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutam Alam Primer. Dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.51/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi.
“Di dalam pasal 5 ayat (1) Kawasan HPK yang akan dilepaskan untuk kepentingan
pembangunan perkebunan, diatur pelepasannya dengan komposisi 80% untuk perusahaan perkebunan, dan 20% untuk kebun masyarakat, dari total luas Kawasan HPK yang dilepaskan dan dapat diusahakan oleh perusahaan perkebunan,” jelas Abadi.
Bahkan ujarnya, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan di Pasal 58. Perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan atau izin usaha perkebunan untuk budi daya, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.
“Jadi saya berharap, agar instansi penegak hukum dan Kementrian Agraria, agar dapat menindak tegas kepala BPN Kotim. Apabila hal ini dibiarkan, dikhawatirkan akan berdampak negatif seperti yang terjadi beberapa tahun silam,” sebutnya.
Karena ujarnya, apabila hal ini dibiarkan perusahan akan kebal hukum, sedangkan masyarakat Kotim sudah berusaha keras berjuang melatih diri, untuk bisa mematuhi dan taat kepada aturan pemerintah.
“Dan hal ini bukan sesuatu yang mudah, merubah kebiasaan dari hukum rimba untuk bisa patuh dengan hukum pemerintah, demi negara kesatuan Republik Indonesia,” tandasnya. (re)